Bagaiamanakah matematika itu sebenarnya...... Matematika adalah....

Rumus Panjang diagonal bidang balok :

Rumus Panjang Diagonal Ruang Balok :


Strategi dalam peningkatan mutu pendidikan
Salah satu pendekatan baru yang digunakan sebagai strategi dalam peningkatan mutu pendidikan yakni manajemen mutu pendidikan berbasis sekolah (school based quality management). Konsep yang diluncurkan oleh Depdiknas 1-2 tahun yang lalu ini berpijak dari teori effective school dengan memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan. Manajemen berbasis sekolah sendiri merupakan upaya adaptasi dari paradigma pendidikan baru yang bersifat desentralisasi. Memberikan hak otonom pada sekolah untuk mengembangkan prakarsa yang positif bagi dirinya sendiri.

MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) -- menurut Dr JC Tukiman Taruna, seorang pakar pendidikan -- dalam implementasinya secara ideal mensyarakan beberapa hal, yakni: a) Peningkatan Kualitas Manajemen sekolah yang terlihat melalui transparansi keuangan, perencanaan partisipatif, dan tanggung-gugat (akuntabilitas). b) Peningkatan pembelajaran melalui PAKEM (pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). c) Peningkatan peran serta masyarakat melalui sering/banyaknya kepedulian masyarakat terhadap sekolah.
Sekolah Kategori Mandiri ( SKM )

Pemerintah sangat berperan aktif didalam peningkatan mutu pendidikan. Bahkan pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah menetapkan kebijakan tentang pengkategorian sekolah berdasarkan tingkat keterlaksanaan standar nasional pendidikan ke dalam kategori standar, mandiri dan bertaraf internasional. Penjelasan Pasal 11, Ayat 2 dan Ayat 3 Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan bahwa dengan diberlakukannya Standar Nasional Pendidikan, maka Pemerintah memiliki kepentingan untuk memetakan sekolah/madrasah menjadi sekolah/madrasah yang sudah atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan sekolah/madrasah yang belum memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah mengkategorikan sekolah/madrasah yang telah memenuhi atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan ke dalam kategori mandiri, dan sekolah/ madrasah yang belum memenuhi Standar Nasional Pendidikan ke dalam kategori standar.

Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa kategori sekolah standard dan mandiri didasarkan pada terpenuhinya delapan Standar Nasional Pendidikan (standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan). Pemerintah telah menetapkan bahwa satuan pendidikan wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan tersebut paling lambat 7 (tujuh) tahun sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah tersebut. Hal tersebut berarti bahwa paling lambat pada tahun 2013 semua sekolah jalur pendidikan formal khususnya di SMA/MA sudah/hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan yang berarti berada pada kategori sekolah mandiri.

Menindaklanjuti kebijakan tersebut, Dit. Pembinaan SMA pada tahun 2007 telah melaksanakan rintisan Sekolah Kategori Mandiri (SKM)/Sekolah Standar Nasional (SSN) di 441 SMA yang tersebar di 32 Provinsi dan 286 Kabupaten/Kota. Selanjutnya pada tahun 2008 rintisan SKM/SSN diperluas menjadi 2.465 SMA di 33 Provinsi dan 465 Kabupaten/ Kota. Rintisan SKM/SSN tersebut dilaksanakan bersama antara Dit. Pembinaan SMA dan Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota mulai dari pengembangan perangkat, strategi, sumberdaya manusia dan penyaluran dana.

Secara umum tujuan dari program rintisan SKM/SSN adalah: 1) mendorong sekolah untuk dapat menyelenggarakan pendidikan agar mencapai kondisi memenuhi/hampir memenuhi standar nasional pendidikan, 2) memberikan arahan upaya-upaya yang harus dilakukan sekolah untuk dapat memenuhi/hampir memenuhi standar nasional pendidikan, 3) memberikan pendampingan kepada sekolah untuk mewujudkan SKM/SSN dalam kurun waktu tertentu, 4) menjalin kerjasama dan meningkatkan peran serta stakeholder pendidikan di SMA baik ditingkat pusat dan daerah dalam mengembangkan SKM/SSN, dan 5) mendapatkan model/rujukan SKM/SSN.


Moving Class
Moving class adalah salah satu pola pengelolaan kelas yang bercirikan siswa yang mendatangi kelas bidang studi. Setiap jam pelajaran berganti maka siswa akan meninggalkan kelas, kemudian memasuki kelas selanjutnya berdasarkan mata pelajaran yang dijadwalkan.

Dalam sistem moving class, guru bidang studi memiliki kelas tersendiri. Hal tersebut memberi keuntungan bagi guru bidang studi untuk menata kelas, mengondisikan kelas sesuai tujuan pembelajaran, dan menyediakan media sesuai kebutuhan pembelajaran. Pada sistem moving class, aroma tiap mata pelajaran akan berbeda tercium oleh siswa. Suasana ruangan biologi berbeda dengan suasana ruangan matematika, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia sehingga siswa tidak merasa jenuh dalam menghadapi pelajaran.

Disadari ataupun tidak keberhasilan siswa dalam belajar dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri sendiri, sedangkan faktor eksternal berasal dari luar diri siswa. Faktor yang berasal dari luar meliputi faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat maupun lingkungan sekolah. Lingkungan belajar sebuah sekolah yang mencerminkan keadaan yang sama di alam semesta ( Capra, 1996; Swimme & Berry, 1992 ).

Penyediaan media dalam sistem pengelolaan moving class diperlukan sekali. Sistem moving class yang tidak menggunakan media pembelajaran, akan menyebabkan siswa hanya sekadar berpindah kelas. Akan tetapi, bila mengggunakan media, pembelajaran akan lebih efektif. Seperti misalnya dalam mata pelajaran bahasa Jawa, ada materi tentang menulis wacana, guru bisa menyediakan media lukisan sebagai bahan untuk tema tulisan dan musik untuk akselerasi imajinasinya tanpa harus memindahkan lukisan tersebut dari satu kelas ke kelas lain.

Adapun manfaat penggunaan media dalam sistem moving class adalah sebagai berikut. Pertama, media dalam sistem moving class tidak akan merepotkan guru. Pengajar tidak harus memindah-mindahkan media dari satu kelas ke kelas lain karena yang berpindah kelas bukan guru, melainkan siswa.

Kedua, penggunaan media dalam sistem moving class akan dapat menciptakan suasana yang lebih menyenangkan di hati siswa dan juga menciptakan ketertarikan siswa terhadap pelajaran karena guru menata kelas dan menyediakan media yang berbeda-beda. Ketiga, penggunaan media akan mempercepat dan mempermudah proses pembelajaran di dalam kelas.

Belajar bukanlah pengalaman yang datar melainkan penuh aktivitas dan kreativitas guru dan siswa di dalamnya. Artinya perubahan atau perkembangan dan pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh alami linier sejalan proses kehidupan ( Zais, 1976:246 ). Suasana kelas adalah penentu psikologis utama yang mempengaruhi proses belajar mengajar di kelas. Suasana kelas yang menyenangkan, pemilihan media yang variatif, guru yang kreatif dan inovatif tentunya akan sangat dinanti siswa dengan suka cita dan senyuman. Mereka akan menunggu guru mempersembahkan aksi terbaiknya di medan kelas, bahkan percakapan yang sangat singkat pun memiliki tenaga untuk mengikis atau memperkuat pemahaman seseorang atas dirinya sendiri ( Adler, 1988b).


Moving Class di SMA Kristen 1 Salatiga
Beberapa persyaratan minimal didalam mengemban tugas sebagai Sekolah Rintisan Kategori Mandiri adalah sebagai berikut :
1. Status Sekolah Terakreditasi A
2. Rerata nilai UN 3 tahun terakhir 7,00
3. Prosentase kelulusan 3 tahun terakhir ≥ 90 %
4. Jumlah siswa per kelas maksimum 32
5. Kegiatan belajar menggunakan moving class
6. Beban studi dengan menggunakan SKS
7. Melaksanakan manajemen berbasis sekolah
8. Menggunakan Kurikulum Kategori Mandiri
Dari sini terlihat jelas bahwa adanya pengkategorian sekolah oleh pemerintah merupakan salah satu upaya pemerintah didalam meningkatkan mutu manajemen pendidikan.

Tahun pelajaran 2008/2009 merupakan tahun partama SMA Kristen 1 Salatiga mengemban tugas sebagai sekolah Rintisan Kategori Mandiri atau sekolah standar Nasional (SSN). Dimana SMA Kristen 1 Salatiga harus berusaha memenuhi persyaratan minimal tersebut untuk mencapai kategori Sekolah Kategori Mandiri. SMA Kristen 1 Salatiga juga harus memenuhi delapan standar nasional pendidikan, yang meliputi : 1). Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. 2). Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. 3). Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. 4). Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. 5). Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. 6). Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. 7). Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. 8). Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.

Untuk itulah pada tahuan ini kegiatan pembelajaran di SMA Kristen 1 Salatiga menggunakan sistem moving clas. Seorang siswa akan berpindah ruangan kelas dengan cara mendatangi ruangan yang khusus untuk belajar pada mata pelajaran tertentu. Setiap guru mata pelajaran mempunyai ruangan tersendiri dan siswa yang akan mengikuti pelajarannya akan mendatangi ruangannya.

Tentunya penerapan moving class ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi siswa dalam upaya meningkatkan aktivitas belajar siswa di sekolah. Adanya aktivitas yang meningkat ini diharapkan akan merubah cara belajar siswa dari belajar pasif menjadi cara belajar aktif, sehingga dapat lebih mudah menguasai atau menyerap materi-materi yang diajarkan oleh guru di sekolah. Atau dengan kata lain dengan moving class diharapkan mampu memberi kekuatan pada siswa untuk menjadi aktif, menjadi kontibutor yang dapat mengarahkan diri sendiri bagi pertumbuhan dan pengembangan diri sendiri ( Gray & Herr, 1955 ).

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa movingclass bukan hanya sekedar sebagai salah satu persyaratan untuk memenuhi kepercayaan dari pemerintah atas dikategorikannya sebuah sekolah sebagai Rintisan Sekolah Kategori Mandiri, melainkan juga merupakan hal yang sangat nyata dibutuhkan demi peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, hal yang sangat menarik untuk dilakukan dari faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar di atas adalah faktor moving class sebagai input lingkungan dan faktor motivasi sebagai input personal. Yang menjadi masalah, seberapa besar kedua faktor tersebut berpengaruh terhadap prestasi belajar. Masalah ini butuh penelitian yang komprehensif.

Akhir kata…..selamat menerapkan movingclass sekolahku…..selamat menikmati moving class siswa-siswaku…….

Handita Sari, S.Si

Dalam kehidupan kita sesehari sebenarnya tanpa disadari kita selalu menggunakan kurikulum. Bahkan setiap menit kita mempunyai tugas-tugas yang harus dikerjakan dan diselesaikan. Didalam menyelesaikan tugas itu selalu dilakukan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dengan harapan hasilnya memuaskan. Oliva (1984), seorang ahli kurikulum, menyebutkan bahwa pada awal munculnya kata "curriculum" di jaman Romawi mempunyai arti yaitu jalur atau gelanggang pacu yang harus dilewati pada perlombaan kareta kuda. Ternyata, dua puluh satu abad kemudian. kata kurikulum selalu digunakan dalam dunia pendidikan dan berkembang menjadi konsep yang artinya luas dan abstrak. Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktek pendidikan, yang juga begitu bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya (Sukmadinata, 2004).
Dalam arti yang sesungguhnya, kurikulum adalah langkah-langkah yang dilaksanakan dalam suatu pekerjaan agar tercapai suatu tujuan tertentu. Ini berarti kurikulum dalam satu lembaga pendidikan adalah langkah-langkah yang harus ditempuh guna pencapaian tujuan pendidikan. Ahli lain menyebutkan kurikulum adalah seperangkat mata pelajaran mengenai suatu bidang ilmu atau keahlian khusus, yang tujuan, isi, dan kegiatannya terprogram serta pelaksanaannya di bawah naungan suatu lembaga pendidikan. Sebagai hal yang terprogram, kurikulum berisi perencanaan yang ingin dicapai, tujuan yang ingin dicapai, bahan yang akan diajarkan, pembelajaran, dan alat-alat pembelajaran. Kurikulum dapat dianggap mantap dan baik untuk suatu masyarakat dan pada masa tertentu apabila di dalamnya mempunyai relevansi isi dengan tujuan pendidikan nasional.

Memang kita harus mengakui bahwa pada jaman yang senantiasa berubah ini dituntut diadakannya penyempurnaan kurikulum untuk menjawab perkembangan jaman dan tuntutan pembelajar. Maka tidaklah benar jika selama ini ada anggapan sinis bahwa pergantian kurikulum disebabkan pergantian menteri semata. Di samping itu, pembaharuan kurikulum bukanlah topik yang baru, contoh kongkritnya di Amerika Serikat yang melakukan pembaharuan di tahun 1960-an karena mendesaknya perbaikan sekolah yang mencakup semua aspek persekolahan. Pembaharuan itu meliputi semua aspek kurikulum, seperti mata perlajaran, standar isi, proses belajar mengajar, metode pembelajaran, pengelolaan waktu yang lebih baik, dan perolehan hasil belajar siswa.

Untuk menyikapi suatu perubahan, setiap sekolah dituntut berperan aktif dalam pembaharuan tersebut sampai pada tahap implementasinya dan menetapkan perubahan itu sesuai dengan perkembangan sekolah tersebut. Sering terjadi sekolah menerima suatu perubahan tanpa memperhitungkan mengapa mereka harus mengadopsinya, apa dampak perubahan itu bagi guru, bagi siswa, dan bagi masyarakat luas. Kemudian akan menjadi berlebihan ketika sekolah yang dijadikan ajang pembaharuan itu digembor-gemborkan sebagai suatu model yang akan menjadi contoh bagi sekolah lain.

Atas dasar semua hal-hal diatas maka sangat perlu dilakukan penelitian untuk memastikan apakah satu sekolah perlu melakukan suatu perubahan. Yaitu dengan pengimplementasian suatu kurikulum dengan segala prosedurnya, dan bahkan dengan segala metode-metode pembelajarannya.

Berkaitan dengan implementasi suatu kurikulum, Hasan (1992) mengemukakan bahwa tidak diimplementasikannya suatu kurikulum pada tingkat sekolah ditentukan oleh tiga faktor, yaitu (1) karakteristik pembaharuan itu sendiri, (2) karakteristik pelaksana, dan (3) strategi implementasi yang ditempuh. Hal senada diperkuat oleh McLaughlin (1987) dengan menyatakan bahwa kesuksesan implementasi suatu kebijakan sangat tergantung kepada dua faktor utama, yaitu (1) kapasitas lokal dan (2) kemauan dari pelaksana.

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah memberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, selajutnya disebut KTSP, atau lebih dikenal Kurikulum 2006 sejak tahun pelajaran 2006/2007 dan direalisasikan sampai pada tahun 2009/2010 (Permendiknas, No.24 Tahun 2006). KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan. KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik.

Masih banyak pendapat yang mengatakan bahwa pemberlakuan KTSP masih menemui banyak hambatan sehingga menyebabkan adanya perasaan pesimis dalam menerapkan kurikulum dimaksud. Seorang Sekretaris Dewan Pendidikan sebuah kota di Indonesia menyatakan bahwa KTSP ternyata masih bersifat idealis dan sulit diterapkan secara nasional (Linggau Pos, 5 Juni 2007). Kendala-kendala penyebabnya adalah kondisi daerah terpencil yang sulit dijangkau dan minimnya sarana dan prasarana penunjang, lemahnya insfrastruktur serta masalah sumber daya manusia dimana masih banyak guru dengan latar belakang pendidikan D2 dan D3.

Kurikulum sebenarnya merupakan perangkat pendidikan yang dinamis. Akan menjadi sangat ideal jika kurikulum peka dan sekaligus mampu merespon beragam perubahan dan beragam tuntutan stakeholders yang menginginkan adanya peningkatan kualitas pendidikan. Bahkan kita menyadari bahwa negara-negara berkembang dan negara maju di hampir seluruh dunia sekarang ini tengah berupaya meningkatkan kualitas pendidikannya dengan mengembangkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (Puskur, 2007).

Adanya kecenderungan globalisasi dan keinginan untuk menyesuaikan tuntutan kebutuhan serta aspirasi bangsa Indonesia di masa depan akan membawa implikasi terhadap perubahan-perubahan kebijakan, khususnya dalam bidang pendidikan. Misi pendidikan nasional adalah menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif yang adaptable terhadap perubahan dan kebutuhan stakeholders. Disamping itu juga sebagai upaya sekolah menjawab fenomena empat pilar pendidikan (learning to know, learning to do learning to be, and learning to live together). Untuk itulah beberapa sekolah berupaya mewujudkannya melalui kurikulumnya. Inovasi kurikulum ini bukan hanya perubahan pemikiran, tetapi yang paling penting adalah perubahan perilaku dalam pembelajaran.

Handita Sari, S.Si









Maria Gaetana Agnesi

Hanya dua wanita muncul dalam daftar nama kehormatan kalkulus kita. Kurangnya perwakilan dari wanita mencerminkan suatu prasangka yang telah lama ada di Eropa Barat dan berlanjut hingga ke abad ini. Jarang sekali wanita didorong untuk mengejar keunggulan akademis dan mereka yang melakukan biasanya merasakan bahwa karir akademis dihalangi untuk mereka. Untunglah beberapa orang tetap bertahan meskipun ada halangan-halangan tersebut.


Salah seorang yang demikian adalah Maria Gaetana Agnesi. Yang tertua diantara 21 orang anak, ia dilahirkan dalam keluarga Italia kaya dan terpelajar dan mempunyai ayah seorang matematikawan. Seorang anak yang luar biasa kepandaiannya, ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Yahudi, dan beberapa bahasa modern pada usia 9 tahun. Pada usia 20 tahun, ia memulai karyanya yang terpenting, sebuah buku ajar kalkulus. Untuk masanya, kejelasannya sungguh-sungguh mengagumkan dan merupakan buku ajar kalkulus luas yang pertama sejak karya dini dari I’Hopital. Buku itu memberinya banyak kehormatan, termasuk pengakuan oleh Kaisar Maria Theresa dan Paus Benedict XIV.


Nama Agnesi menguasai suatu tempat dalam kepustakaan matematika melalui satu sumbangan kecil Maria – pembahasannya tentang kurva yang kemudian dikenal sebagai varsiera, yang berasal dari bahasa Latin vertere, membalik. Sekarang kurva itu dikenal sebagai sihir dari Agnesi, karena varsiera dalam bahasa Italia berarti iblis betina.


Pada peringatan seratus tahun meninggalnya, Milan menghormati Agnesi dengan member nama sebuah jalan atas namanya. Sebuah batu pertama di bagian muka gedung Luogo Pio bertuliskan prasasti “ terpelajar dalam Matematika, keagungan Italia dan abadnya.”


( Edwin J.Purcell – Dale Varberg )


Penterjemah : Drs. I Nyoman Susila, M.Sc, dkk

Matematika....
Benarkah menjadi momok bagi sebagian siswa di Indonesia...???

;;

Template by:
Free Blog Templates